Di
tengah hiruk pikuk persiapan menghadapi TKD yang katanya masih "dalam
waktu dekat" ini, aku sempatkan untuk membaca e-book materi TWK tentang “Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara” yang diterbitkan langsung oleh MPR RI.
Tiba-tiba terbesit dalam benakku untuk membuka kembali folder-folder memori
jaman SD dulu. Tentu sudah tak asing lagi bagi kita mendengar kata "Pancasila".
Masih ingat bukan? Saat upacara bendera setiap hari Senin, tak pernah
ketinggalan lima sila ini kita bacakan. Ya, mungkin saat itu aku hanyalah anak
usia 8 tahunan yang lagi "gemawok" (senang-senangnya) memamerkan hafalan
di depan guru-guru dan peserta upacara. Pancasila saat itu hanya sebatas ucapan
di bibir saja, tanpa kupahami apa yang sebenarnya aku hafalkan itu. Namun
seiring bertambahnya usia dan jenjang pendidikan yang kutempuh, barulah aku
sadar bahwa ternyata yang dulu aku hafalkan itu adalah sesuatu yang mempunyai
nilai sangat besar dan bukan hal yang sembarangan. Ia adalah buah pikir dan hasil
kerja keras dari para pendahulu kita.
Coba sejenak kita bayangkan kembali situasi Mei-Juni 68 tahun
silam. Saat dimana para Bapak Bangsa berusaha keras memeras otak dan tenaga
untuk merumuskan bagaimana Indonesia Merdeka. Apa yang akan menjadi dasar
negara kita jika nanti Merdeka? Cukupkah sampai pada kata "Merdeka"
yang terus menerus digaungkan kaum muda? Hmmm rupanya tidak. Para Pendiri
Bangsa ini bertindak penuh pertimbangan.
Dalam merumuskan dasar negara yang
kita kenal sebagai Pancasila itu pun harus melalui proses panjang dengan
berbagai perundingan yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat
Indonesia. Dalam pidatonya 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan gagasannya
mengenai lima sila ini, yaitu (1) Kebangsaan Indonesia, (2)
Internasionalisme atau perikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan
Sosial, dan (5) Ketuhanan yang berkebudayaan. Kelima sila itu menurut
Soekarno sudah cukup mewakili seluruh ide-ide yang dicanangkan oleh peserta
sidang yang lainnya. Namun ternyata, Beliau juga tidak egois dengan pendapatnya
sendiri, Beliau menawarkan alternatif lain apabila ada yang merasa keberatan
dengan angka 5, maka usulannya ini dapat disingkat menjadi 3 sila (trisila)
bahkan menjadi ekasila saja. Karena pemaparan dari beliau yang begitu
meyakinkan itu, akhirnya oleh ketua sidang diputuskanlah secara aklamasi bahwa
Pancasila dijadikan sebagai dasar negara.
Sesaat
ketika sampai pada bagian “ekasila”, di situlah aku cukup tertarik dengan
penjelasan Bung Karno mengenai hal ini. Beliau menyatakan dalam pidatonya,
“Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja?Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harusmendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia-semua buat semua!Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.”
Di
dalam e-book tersebut juga dijelaskan bahwa dengan prinsip “gotong
royong” ini, Soekarno kurang lebih ingin menegaskan bahwa ke lima sila yang
telah beliau paparkan sebelumnya juga harus didasarkan pada prinsip ‘gotong
royong’. Prinsip Ketuhanan harus berjiwa gotong royong. Ketuhanan yang
berkebudayaan, yang lapang dan toleran. Prinsip kemanusiaannya berjiwa gotong royong,
yang berkeadilan dan berkeadaban bukan yang menjajah dan eksploatif. Prinsip
persatuannya juga harus berjiwa gotong royong, mengupayakan persatuan dengan tetap
menghargai perbedaan “Bhinneka Tunggal Ika” bukan kebangsaan yang
meniadakan perbedaan ataupun menolak persatuan. Prinsip
demokrasinya harus berjiwa gotong royong (mengembangkan musyawarah mufakat), bukan
demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elit penguasa-pemodal.
Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi
di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan), bukan visi kesejahteraan yang
berbasis individualisme-kapitalisme, bukan pula yang mengekang kebebasan
individu seperti dalam sistem etatisme.
Setelah membaca itu, aku jadi makin merasa bahwa sebetulnya bangsa
kita adalah bangsa yang sangat luar biasa. Lihat saja betapa Pancasila itu hampir
mendekati sempurna untuk diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan bangsa kita.
Dalam Pancasila itu sudah dipahami betul bahwa negara kita adalah negara
majemuk dengan berbagai ragam agama, suku dan budaya, sehingga para pendahulu
kita pun lebih mengedepankan persatuan karena kemerdekaan adalah untuk seluruh
Bangsa Indonesia tanpa melihat apa agamanya apa suku dan budayanya. Indonesia
adalah milik kita semua.
Mungkin kita juga masih ingat tentang peristiwa yang
melatarbelakangi diubahnya Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yaitu pada sila
pertama, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”
yang kemudian diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Saat itu sempat terjadi
perlawanan dari golongan Katholik dan Protestan yang berada di wilayah
pendudukan Kaigun. Mereka merasa kalimat itu terlalu diskriminatif terhadap
kaum minoritas non-muslim. Dan mereka mengancam apabila tetap tidak diubah,
maka mereka lebih memilih untuk melepaskan diri dari NKRI. Menanggapi situasi
yang cukup serius itu, akhirnya disepakatilah bahwa kalimat pada sila pertama
tersebut diubah.
“Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantikannya dengan KetuhananYang Maha Esa.”