Sebelumnya apa sih Cyberlaw? Cyberlaw adalah hukum yang digunakan di
dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet.
Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak
negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, Internet dan jaringan
komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini.
PERBEDAAN CYBER LAW DI BERBAGAI NEGARA (INDONESIA, MALAYSIA, SINGAPORE, VIETNAM, THAILAND, AMERIKA SERIKAT)
CYBER LAW NEGARA INDONESIA: Inisiatif untuk membuat
“cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama
waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai
transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah
basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya.
Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal yang
terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama
seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital
signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti
electronic commerce (e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya. Namun
ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain
pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang
mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan
di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking,
membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk
pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan
nama domain, dan masalah privasi. Nama dari RUU ini pun berubah dari
Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya
menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya
materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang. Ada satu hal
yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan
teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan
pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah satu pendekatan
yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di
Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang dapat
kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi
Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk
mengunjungi sebuah tempat di dunia.
CYBER LAW NEGARA MALAYSIA: Digital Signature Act 1997
merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan
Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk
menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan)
dalam hukum dan transaksi bisnis. Para Cyberlaw berikutnya yang akan
berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk
memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh
melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi
video.
CYBER LAW NEGARA SINGAPORE: The Electronic Transactions Act
telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang
undang-undang untuk transaksi perdagangan elektronik di Singapore. ETA
dibuat dengan tujuan :
• Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
• Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang
perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan
tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang dan
infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin/mengamankan
perdagangan elektronik;
• Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan
• Meminimalkan timbulnya arsip alektronik yang sama (double),
perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan
penipuan dalam perdagangan elektronik, dll;
• Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
• Mempromosikan kepercayaan, integritas dan keandalan dari arsip
elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu
perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui
penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan
integritas surat menyurat yang menggunakan media elektronik. Didalam
ETA mencakup :
• Kontrak Elektronik Kontrak elektronik ini didasarkan pada
hukum dagang online yang dilakukan secara wajar dan cepat serta
untuk memastikan bahwa kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
• Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan Mengatur mengenai potensi /
kesempatan yang dimiliki oleh network service provider untuk melakukan
hal-hal yang tidak diinginkan, seperti mengambil, membawa, menghancurkan
material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan
tersebut.
• Tandatangan dan Arsip elektronik Hukum memerlukan arsip/bukti
arsip elektronik untuk menangani kasus-kasus elektronik, karena itu
tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum. Di
Singapore masalah tentang privasi,cyber crime,spam,muatan
online,copyright,kontrak elektronik sudah ditetapkan.Sedangkan
perlindungan konsumen dan penggunaan nama domain belum ada rancangannya
tetapi online dispute resolution sudah terdapat rancangannya.
CYBER LAW NEGARA VIETNAM: Cyber crime,penggunaan nama domain
dan kontrak elektronik di Vietnam suudah ditetapkan oleh pemerintah
Vietnam sedangkan untuk masalah perlindungan konsumen
privasi,spam,muatan online,digital copyright dan online dispute
resolution belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga belum ada
rancangannya. Dinegara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah
keberadaannya,hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang
mengatur masalah cyber,padahal masalah seperti spam,perlindungan
konsumen,privasi,muatan online,digital copyright dan ODR sangat penting
keberadaannya bagi masyarakat yang mungkin merasa dirugikan.
CYBER LAW NEGARA THAILAND: Cybercrime dan kontrak elektronik
di Negara Thailand sudah ditetapkan oleh pemerintahnya,walaupun yang
sudah ditetapkannya hanya 2 tetapi yang lainnya seperti
privasi,spam,digital copyright dan ODR sudah dalalm tahap rancangan.
Cyberlaw di Amerika Serikat Di Amerika, Cyber Law yang mengatur
transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act
(UETA). UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan
Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National
Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47
negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah
mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah
untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yag berbeda atas
bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan
elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai
media perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :
Pasal 5 : Mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan
elektronik Pasal 7 : Memberikan pengakuan legal untuk dokumen
elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik. Pasal 8 :
Mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak. Pasal 9
: Membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan
elektronik. Pasal 10 : Menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau
kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara
pihak yang bertransaksi. Pasal 11 : Memungkinkan notaris publik dan
pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara
efektif menghilangkan persyaratan cap/segel. Pasal 12 : Menyatakan
bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen
elektronik. Pasal 13 : “Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda
tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik”
Pasal 14 : Mengatur mengenai transaksi otomatis. Pasal 15 :
Mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen
elektronik. Pasal 16 : Mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
Undang-Undang Lainnya :
• Electronic Signatures in Global and National Commerce Act
• Uniform Computer Information Transaction Act
• Government Paperwork Elimination Act
• Electronic Communication Privacy Act
• Privacy Protection Act
• Fair Credit Reporting Act
• Right to Financial Privacy Act
• Computer Fraud and Abuse Act
• Anti-cyber squatting consumer protection Act
• Child online protection Act
• Children’s online privacy protection Act
• Economic espionage Act
• “No Electronic Theft” Act Undang-Undang Khusus :
• Computer Fraud and Abuse Act (CFAA)
• Credit Card Fraud Act
• Electronic Communication Privacy Act (ECPA)
• Digital Perfomance Right in Sound Recording Act
• Ellectronic Fund Transfer Act
• Uniform Commercial Code Governance of Electronic Funds Transfer
• Federal Cable Communication Policy
• Video Privacy Protection Act Undang-Undang Sisipan :
• Arms Export Control Act
• Copyright Act, 1909, 1976
• Code of Federal Regulations of Indecent Telephone Message Services
• Privacy Act of 1974
• Statute of Frauds
• Federal Trade Commision Act
• Uniform Deceptive Trade Practices Act
Kesimpulan Dalam hal ini Thailand masih lebih baik dari pada Negara
Vietnam karena Negara Vietnam hanya mempunyai 3 cyberlaw sedangkan yang
lainnya belum ada bahkan belum ada rancangannya. Kesimpulan dari 5
negara yang dibandingkan adalah Negara yang memiliki cyberlaw paling
banyak untuk saat ini adalah Indonesia,tetapi yang memiliki cyberlaw
yang terlengkap nantinya adalah Malaysia karena walaupun untuk saat ini
baru ada 6 hukum tetapi yang lainnya sudah dalam tahap perencanaan
sedangkan Indonesia yang lainnya belum ada tahap perencanaan.Untuk
Thailand dan Vietnam,Vietnam masih lebih unggul dalam penanganan
cyberlaw karena untuk saat ini saja terdapat 3 hukum yang sudah
ditetapkan tetapi di Thailand saat ini baru terdapat 2 hukum yang
ditetapkan tetapi untuk kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang saat
ini sedang dirancang.
Perbedaan Cyber Law, Computer Crime Act, dan Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC).
Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace
Law, dimana ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan
dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya. Sehingga dapat diartikan cybercrome itu
merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyber Law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu
Negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada
masyarakat Negara tertentu. Cyber Law dapat pula diartikan sebagai hukum
yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan
dengan internet.
Cyber Law Negara Indonesia:
Munculnya Cyber Law di Indonesia dimulai sebelum tahun 1999. Focus
utama pada saat itu adalah pada “payung hukum” yang generic dan sedikit
mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar
ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan
lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana. Untuk hal
yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature
sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital
signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti
electronic commerce (e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Cyber Law digunakan untuk mengatur berbagai perlindungan hukum atas
kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Pada Cyber Law ini juga diatur berbagai
macam hukuman bagi kejahatan melalui internet.
Cyber Law atau Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) sendiri baru ada di Indonesia dan telah disahkan oleh DPR pada
tanggal 25 Maret 2008. UU ITE terdiri dari 13 bab dan 54 pasal yang
mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan
transaksi yang terjadi di dalamnya. Perbuatan yang dilarang (cybercrime)
dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37), yaitu:
Pasal 27: Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan.
Pasal 28: Berita bohong dan Menyesatkan, Berita kebencian dan permusuhan.
Pasal 29: Ancaman Kekekrasan dan Menakut-nakuti.
Pasal 30: Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking.
Pasal 31: Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyber law ini yang
terkait dengan terotori. Misalkan, seorang cracker dari sebuah Negara
Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah
satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas
crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang
bersangkutan. Yang dapat dilakukan adalah menangkap cracker ini jika dia
mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan/ hak
untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia.
Cyber Law Negara Malaysia:
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyber Law pertama yang
disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan cyberlaw ini adalah untuk
memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan
elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi
bisnis. Pada cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine
Act 1997. Cyberlaw ini praktis medis untuk memberdayakan memberikan
pelayanan medis/konsultasi dari lokasi jauh melalui penggunaan fasilitas
komunikasi elektronik seperti konferensi video.
Cyber Law Negara Singapore:
The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10 Juli 1998 untuk
menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi
perdagangan elektronik si Singapore. ETA dibuat dengan tujuan:
Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya.
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang
perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan dan persyaratan
tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari undang-undang dan
infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin/mengamankan
perdagangan elektronik.
Memudahkan penyimpanan secara elektronik tentang dokumen pemerintah dan perusahaan.
Meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang sama, perubahan yang
tidak sengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam
perdagangan elektronik, dll.
Membantu menuju keseragaman aturan, peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik.
Mempromosikan kepercayaan, inregritas dan keandalan dari arsip
elektronik dan perdagangan elektronik dan untuk membantu perkembangan
dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan tanda
tangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas surat
menyurat yang menggunakan media elektronik.
Cyber Law Negara Vietnam:
Cybercrime, penggunaan nama domain dan kontrak elektronik di
Vietnam sudah ditetapkan oleh Pemerintah Vietnam, sedangkan untuk
masalah perlindungan konsumen privasi, spam, muatan online, digital
copyright dan online dispute resolution belum mendapat perhatian dari
pemerintah sehingga belum ada rancangannya.
Di Negara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah
keberadaannya, hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang
mengatur masalah cyber, apdahal masalah seperti yang telah disebutkan
sebelumnya sangat penting keberadaanya bagi masyarakat yang mungkin
merasa dirugikan.
Cyber Law Negara Thailand:
Cybercrime dan kontrak elektronik di Negara Thailand sudah
sitetapkan oleh pemerintahnya, walaupun yang sudah ditetapkannya hanya 2
tetapi yang lainnya seperti spam, privasi, digital copyright dan ODR
sudah dalam tahap rancangan.
Cyber Law Negara Amerika Serikat:
Di Amerika, cyberlaw yang mengatur transaksi elektronik dikenal
dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA adalah salah satu
dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang
diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State
Laws (NCCUSL).
Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin
US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan
menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum Negara bagian yang
berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan
tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik
sebagai media perjanjian yang layak.
Dari 5 negara yang telah disebutkan diatas, Negara yang memiliki
cyberlaw paling banyak untuk saat ini adalah Indonesia, tetapi yang
memiliki cyberlaw yang terlengkap nantinya adalah Malaysia karena
walaupun untuk saat ini baru ada 6 hukum tetapi yang lainnya sudah dalam
tahap perencanaan. Sedangkan Indonesia yang lainnya belum ada tahap
perencanaan. Untuk Thailand dan Vietnam, Vietnam masih lebih unggul
dalam penanganan cyberlaw karena untuk saat ini terdapat 3 hukum yang
sudah ditetapkan, tetapi di Thailand saat ini hanya terdapat 2 hukum
yang ditetapkan tetapi untuk kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang
saat ini masih dalam taham perancangan.
Computer Crime Act (Malaysia)
Cybercrime merupakan suatu kegiatan yang dapat dihukum karena telah
menggunakan computer dalam jaringan internet yang merugikan dan
menimbulkan kerusakan pada jaringan computer internet, yaitu merusak
property, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi,
pemalsuan data, pencurian penggelapan dana masyarakat.
Cyber Law diasosiasikan dengan media internet yang merupakan aspek
hukum dengan ruang lingkup yang disetiap aspeknya berhubungan dnegan
manusia dengan memanfaatkan teknologi internet.
Council of Europe Convention on Cybercrime (COECCC)
Merupakan salah satu contoh organisasi internasional yang bertujuan
untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia maya, dengan
mengadopsikan aturan yang tepat dan untuk meningkatkan kerja sama
internasional dalam mewujudkan hal ini.
COCCC telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota
Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on
Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan nomor 185.
Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh
minimal lima Negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan
oleh tiga Negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup
area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan criminal yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cybercrime, baik melalui
undang-undang maupun kerja sama internasional. Konvensi ini dibentuk
dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut:
Bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar
Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan
untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan
teknologi informasi.
Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem,
jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain
yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan
penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu
mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
Saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan
suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi
manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi
Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik
Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti
hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan
menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh masyarakat Uni Eropa sebagai
konvensi yang terbuka untuk diakses oleh Negara manapun di dunia. Hal
ini dimaksudkan untuk diajdikan norma dan instrument Hukum Internasional
dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap
individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam
pengembangan teknologi informasi.
Perbedaan Cyber Law, Computer Crime Act, dan Council of Europe Convention on Cybercrime
Cyber Law: merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu
Negara tertentu dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada
masyarakat Negara tertentu.
Computer Crime Act (CCA): merupakan undang-undang penyalahgunaan informasi teknologi di Malaysia.
Council of Europe Convention on Cybercrime: merupakan organisasi
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia
internasional. Organisasi ini dapat memantau semua pelanggaran yang ada
di seluruh dunia.
Implikasi Pemberlakuan RUU ITE di Indonesia
Teknologi informasi dan komunikasi adalah peralatan sosial yang
penuh daya, yang dapat membantu atau mengganggu masyarakat dalam banyak
cara. Semua tergantung pada cara penggunaannya, perkembanagan dunia
cyber atau dunia teknologi informasi dan kumunikasi telah menyebabkan
perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung
cepat, perubahan peradaban manusia secara global, dan menjadikan dunia
ini menjadi tanpa batas, tidak terbatas oleh garis teritotial suatu
negara.
Kehidupan masayarakat modern yang serba cepat menjadikan
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi menjadi sesuatu harga
mutlak, menjadi sesuatu kebutuhan primer yang setiap orang harus
terlibat didalamnya kalau tidak mau keluar dari pergaulan masyarakat
dunia, tetapi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi ini tidak
selamanya dimanfaatkan untuk kesejahteraan, kemajuan dan peradaban
manusia saja di sisi lain teknologi informasi dan komunikasi ini menjadi
suatu senjata ampuh untuk melakukan tindakan kejahatan, seperti
maraknya proses prostitusi, perjudian di dunia maya (internet),
pembobolan ATM lewat internet dan pencurian data-data perusahan lewat
internet, semuanya termasuk kedalam penyalahgunaan teknologi informasi
dan komunikasi, atau lebih tepatnya kejahatan penyalahgunaan transaksi
elektronik. Itulah alasannya pemerintah Indonesia mengesahkan UU
ITE(Informasi dan Transaksi Elektronik) untuk mengatur penggunaan
teknologi informasi secara luas dan terarah, demi terciptanya masyarakat
elektronik yang selalu menerapkan moral dan etika dalam seluruh aspek
kehidupannya.
Manfaat pelaksanaan UU ITE:
1. Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya
mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat
potensi ekonomi digital dan kesempatan untuk menjadi penyelenggara
Sertifikasi Elektronik dan Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2. E-tourism mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus
memaksimalkan potensi pariwisata Indonesia dengan mempermudah layanan
menggunakan ICT.
3. Trafik internet Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk
kemajuan bangsa. Masyarakat harus memaksimalkan potensi akses internet
Indonesia dengan konten sehat dan sesuai konteks budaya Indonesia
4. Produk ekspor Indonesia dapat diterima tepat waktu sama dengan
produk negara kompetitor. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi
kreatif bangsa untuk bersaing dengan bangsa lain.
Efektifitas UU ITE Terhadap Tekonologi Informasi
Bila dilihat dari content UU ITE, semua hal penting sudah
diakomodir dan diatur dalam UU tersebut. UU ITE sudah cukup komprehensif
mengatur informasi elektronik dan transaksi elektronik. Mari kita lihat
beberapa cakupan materi UU ITE yang merupakan terobosan baru. UU ITE
yang mana mengakui Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan materai), alat
bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam
KUHAP, Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia, penyelesaian
sengketa juga dapat diselesaikan dengan metode penyelesaian sengketa
alternatif atau arbitrase. Setidaknya akan ada sembilan Peraturan
Pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU ITE, sehingga UU ini dapat
berjalan dengan efektif.
Dampak UU ITE bagi Kegiatan Transaksi Elektronik
UU ITE yang disahkan DPR pada 25 Maret lalu menjadi bukti bahwa
Indonesia tak lagi ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti
hukum di bidang cyberspace law. Menurut data Inspektorat Jenderal
Depkominfo, sebelum pengesahan UU ITE, Indonesia ada di jajaran terbawah
negara yang tak punya aturan soal cyberspace law. Posisi negeri ini
sama dengan Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika Selatan.
Tentu saja posisi itu jauh berada di belakang negara-negara Eropa
dan Amerika Serikat. Bahkan beberapa negara berkembang lainnya, seperti
India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Singapura, mendahului Indonesia
membuat cyberspace law. Tak mengherankan jika Indonesia sempat menjadi
surga bagi kejahatan pembobolan kartu kredit (carding).
Pengaruh UU ITE
Sekarang kita tahu maraknya carding atau pencurian kartu kredit di
internet berasal dari Indonesia, hal ini memungkinan Indonesia dipercaya
oleh komunitas ”trust” internasional menjadi sangat kecil sekali.
Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan bisa mengurangi terjadinya praktik
carding di dunia maya. Dengan adanya UU ITE ini, para pengguna kartu
kredit di internet dari negara kita tidak akan di-black list oleh
toko-toko online luar negeri. Sebab situs-situs seperti www.amazon.com selama
ini masih mem-back list kartu-kartu kredit yang diterbitkan Indonesia,
karena mereka menilai kita belum memiliki cyber law. Nah, dengan adanya
UU ITE sebagai cyber law pertama di negeri ini, negara lain menjadi
lebih percaya atau trust kepada kita.
Dalam Bab VII UU ITE disebutkan: Perbuatan yang dilarang pasal
27-37, semua Pasal menggunakan kalimat, ”Setiap orang… dan lain-lain.”
Padahal perbuatan yang dilarang seperti: spam, penipuan, cracking,
virus, flooding, sebagian besar akan dilakukan oleh mesin olah program,
bukan langsung oleh manusia. Banyak yang menganggap ini sebagai suatu
kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu kelemahan. Sebab di belakang mesin
olah program yang menyebarkan spam, penipuan, cracking, virus, flooding
atau tindakan merusak lainnya tetap ada manusianya, the man behind the
machine. Jadi kita tak mungkin menghukum mesinnya, tapi orang di
belakang mesinnya.
Beberapa Hal Mendasar Yang Berubah Pada Masyarakat
Sejauh ini, adanya UU ITE setidaknya merubah cara masyrakat dalam melakukan transaksi elektronik, diantaranya:
Pengaksesan Situs Porno/Kekerasan/Narkoba
Transaksi yang diperkuat dengan Tanda tangan Elektronik
Penyampaian pendapat dalam dunia maya
Penyebaran file/konten berbahaya (Virus,Spam dll.)
Pengajuan HAKI terhadap informasi/dokumen elektronik, demi keterjaminan hak.
Blog/Tulisan mengandung isi berbau SARA
Pengaksesan Illegal, serta pemakaian software illegal
Sedikit ulasan dari point diatas, mengacu pada pasal 27-37, hanya
akan ditangkap ”Orang Yang Menyebar Virus.” Tapi tampaknya bukan pembuat
virus. Logikanya sederhana, virus tak akan merusak sistem komputer atau
sistem elektonik, jika tidak disebarkan melalui sistem elektronik.
Artinya, bahwa jika sampai virus itu disebarkan, maka si penyebar virus
itu yang akan dikenakan delik pidana. Tentu hal ini harus dibuktikan di
pengadilan bahwa si penyebar virus itu melakukan dengan sengaja dan
tanpa hak.
Keseriusan Pemerintah dalam Menegakkan UU ITE
Sesuai dengan catatan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia, kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804
kasus. Itu meliputi spam, penyalahgunaan jaringan teknologi informasi,
open proxy (memanfaatkan kelemahan jaringan), dan carding. Data dari
Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) menunjukkan, sejak tahun 2003
hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30
milyar per tahun. Hal ini tentunya mencoreng nama baik Negara, serta
hilangnya kepercayaan dunia terhadap Indonesia. Untuk itulah pemerintah
perlu serius menanganani Transaksi Elektronik yang sudah merambah
berbagai aspek kehidupan bernegara.
Langkah Pemerintah dalam Menegakkan UU ITE
Setelah diluncurkan UU ITE, untuk mencegah agar produk hukum ini
tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dalam
memahami cakupan materi dan dasar filosofis, yuridis serta sosiologis
dari UU ITE ini, Departemen Komunikasi dan Informatikan akan melakukan
kegiatan diseminasi informasi kepada seluruh masyarakat, baik lewat
media, maupun kegiatan sosialisasi ke daerah-daerah. Edukasi kepada
masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan
menkampanyekan internet sehat lewat media, membagikan software untuk
memfilter situs-situs bermuatan porno dan kekerasan.
Keterbatasan Pemerintah Dalam Menangani UU ITE
Untuk sekarang ini, kita belum bisa menilai apakah UU ITE ini
”kurang”. Kita butuh waktu untuk melihat penegakannya nanti. Yang pasti,
beberapa hal yang belum secara spesifik diatur dalam UU ITE, akan
diatur dalam Peraturan Pemerintah, juga peraturan perundang-undangan
lainnya. Secara keseluruhan, UU ITE telah menjawab permasalahan terkait
dunia aktivitas/ transaksi di dunia maya, sebab selama ini banyak orang
ragu-ragu melakukan transaksi elektronik di dunia maya karena khawatir
belum dilindungi oleh hukum. Hal yang paling penting dalam kegiatan
transaksi elektronik, adalah diakuinya tanda tangan elektronik sebagai
alat bukti yang salah dalam proses hukum. Jadi seluruh pelaku transaksi
elektronik akan terlindungi.
Pada Pasal 31 ayat (3) UU ITE mengatur lawful interception,
tatacara Lawful Interception akan diatur secara detil dalam Peraturan
Pemerintah tentang Lawful Interception. Intinya bahwa penegak hukum
harus mengajukan permintaan penyadapan kepada operator telekomunikasi,
atau internet service provider yang diduga menjadi sarana komunikasi
dalam tindak kejahatan. Jadi permintaan intersepsi tidak dilakukan
kepada Depkominfo.
Sosialisasi UU ITE pada Masyarakat
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Mohammad Nuh
mengatakan, saat ini masih terjadi kesalahpahaman dari masyarakat bahwa
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik sekadar untuk blocking
situs porno, padahal substansinya melingkupi seluruh transaksi berbasis
elektronik yang menggunakan komputer.Sehingga pihaknya terus berupaya
melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai Undang Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE.
Tanggapan Masyarakat Terhadap UU ITE
Secara umum masyarakat memandang UU ITE hanya sebagai formalitas
sesaat, yang mana peraturan dan perundang-undang yang disusun, hanya
berlaku jika ada kasus yang mencuat.
Dalam kehidupan sehari-hari baik masyarakat umum ataupun kaum
terpelajar tidak sepenuhnya mematuhi atau mengindahkan UU ITE ini,
terbukti dengan masih tingginya tingkat pelanggaran cyber, penipuan,
ataupun pengaksessan situs porno.
“Kasus `cyber crime` di Indonesia adalah nomor satu di dunia,” kata
Brigjen Anton Taba, Staf Ahli Kapolri, dalam acara peluncuran buku
Panduan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) di Jakarta
Kesimpulan
Dari hasil studi lapangan “Pengaruh Penerapan UU ITE terhadap
Kegiatan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi” dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada 25 Maret 2008, DPR telah mengesahkan rancangan
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pengesahan
ini merupakan sesuatu yang menggembirakan dan telah ditunggu-tunggu oleh
banyak pihak untuk keluar dari pengucilan dunia internasional.
Sayangnya, masyarakat terlalu terfokus pada larangan atas pornografi
internet dalam UU ITE sehingga melupakan esensi dari UU ITE itu sendiri.
Sebagai sebuah produk hukum, UU ITE merupakan suatu langkah yang amat
berani dengan memperkenalkan beberapa konsep hukum baru yang selama ini
kerap menimbulkan polemik.
2. Dampak UU ITE :
a.Dampak positif:
• Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya
mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat
potensi ekonomi digital dan kesempatan untuk menjadi penyelenggara
Sertifikasi Elektronik dan Lembaga Sertifikasi Keandalan.
• E-tourism mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus
memaksimalkan potensi pariwisata indonesia dengan mempermudah layanan
menggunakan ICT.
• Trafik internet Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan
bangsa. Masyarakat harus memaksimalkan potensi akses internet indonesia
dengan konten sehat dan sesuai konteks budaya indonesia
• Produk ekspor indonesia dapat diterima tepat waktu sama dengan
produk negara kompetitor. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi
kreatif bangsa untuk bersaing dengan bangsa lain.
b.Dampak negatif:
• Isi sebuah situs tidak boleh ada muatan yang melanggar
kesusilaan. Kesusilaan kan bersifat normatif. Mungkin situs yang
menampilkan foto-foto porno secara vulgar bisa jelas dianggap melanggar
kesusilaan. Namun, apakah situs-situs edukasi AIDS dan alat-alat
kesehatan yang juga ditujukan untuk orang dewasa dilarang? Lalu, apakah
forum-forum komunitas gay atau lesbian yang (hampir) tidak ada pornonya
juga dianggap melanggar kesusilaan? Lalu, apakah foto seorang masyarakat
Papua bugil yang ditampilkan dalam sebuah blog juga dianggap melanggar
kesusilaan?
• Kekhawatiran para penulis blog dalam mengungkapkan pendapat.
Karena UU ini, bisa jadi para blogger semakin berhati-hati agar tidak
menyinggung orang lain, menjelekkan produk atau merk tertentu, membuat
tautan referensi atau membahas situs-situs yang dianggap ilegal oleh UU,
dll. Kalau ketakutan menjadi semakin berlebihan, bukanlah malah semakin
mengekang kebebasan berpendapat
• Seperti biasa, yang lebih mengkhawatirkan bukan UU-nya, tapi
lebih kepada pelaksanaannya. Semoga saja UU ini tidak menjadi alat bagi
aparat untuk melakukan investigasi berlebihan sehingga menyentuh ranah
pribadi. Karena seperti Pak Nuh bilang, UU ini tidak akan menyentuh
wilayah pribadi. Hanya menyentuh wilayah yang bersifat publik. Itu kan
kata Pak Nuh. Kata orang di bawahnya (yang mungkin nggak mengerti
konteks) bisa diinterpretasi macam-macam.
3. Disamping banyak manfaat yang dirasakan namun masih banyak
masyarakat yang tidak mengetahui informasi tentang UU ini bahkan ada
yang sama sekali tidak peduli. Pemerintah harus lebih mengembangkan dan
mensosialisasikan UU ITE agar dipahami dan diterapkan oleh masyarakat.
Sumber:
http://mutiaramarini.blogspot.com/2014/04/perbedaan-cyber-law-computer-crime-act.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar